Senin, 28 Januari 2013

cardinalfish banggai








Mengenal Ikan Capungan Banggai (Pterapogon kauderni)

http://akuakulturunhas.blogspot.com/2008/08/mengenal-ikan-capungan-banggai.html

Bila anda berkunjung ke kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di bagian timur pulau Sulawesi, tentunya belum lengkap perjalanan anda kalau belum melihat salah satu spesies ikan hias laut endemik Indonesia yang penyebaran alaminya hanya bisa ditemukan di perairan Kepulauan Banggai yaitu Banggai Cardinal Fish (Pterapogon kauderni) atau dalam bahasa lokal dikenal sebagai ikan capungan Banggai.
Sejak beberapa waktu lalu, spesies Banggai Cardinal Fish (disingkat BCF) ini mulai menarik perhatian dunia internasional seiring dengan adanya usulan dari negara USA memasukkannya ke dalam daftar lampiran CITES, suatu konvensi yang mengatur perdagangan internasional terhadap spesies flora dan fauna yang terancam punah. Namun dalam sidang negara-negara anggota CITES atau Conference of Parties (CoP) ke 14 pada tanggal 3 – 15 Juni 2007 lalu di Den Haag – Belanda, spesies ini berhasil diperjuangkan oleh delegasi Indonesia tidak masuk dalam Apendiks II CITES sehingga dalam pengelolaannya masih mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan perikanan sebagaimana digariskan oleh FAO.
Menurut Tullock dan Michael (1999) ikan capungan Banggai diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom          :     Animalia
Filum                 :     Chordata
Sub Filum         :     Vertebrata
Super Klas       :     Gnathostomata
Kelas                  :     Osteichtyes
Sub Klas            :     Actinopterygi
Super Ordo     :     Teleostei
Famili                 :     Apogonidae
Genus               :     Pterapogon
Spesies             :     Pterapogon kauderni, Koumans (1933)

Ikan ini termasuk famili Apogonidae yang merupakan anggota terbanyak dari ordo Perciformes dengan 27 genera dan 250 spesies yang tersebar di Samudera Pasifik, Samudera Atlantik dan Samudera Hindia. Memiliki bentuk tubuh agak pipih dengan dasar kuning dan keperak-perakan, terdapat garis-garis hitam yang vertikal dari sirip punggung ke sirip perut dan sirip dubur. Memiliki dua sirip punggung yang terpisah dengan jelas,sirip punggung pertama berjari-jari keras sedangkan garis punggung kedua berjari-jari lunak, mempunyai mata yang besar berwarna hitam dan bentuk mulut terminal dengan ukuran kecil. Panjang tubuh sekitar 3 – 8 cm dan pada saat dewasa berukuran 8 – 10 cm.

Daerah penyebaran sangat terbatas di wilayah Sulawesi Tengah bagian timur,tepatnya di Kepulauan Banggai, karena itu spesies ini termasuk endemik. Populasi ikan ini dapat ditemukan di perairan dangkal dengan kedalaman 0 – 5 m pada daerah lamun (sea grass) dan terumbu karang dimana banyak terdapat bulu babi dan anemon. Mereka hidup bersimbiosis dengan bulu babi (Diadema setosum) yang umumnya terdapat di perairan pantai. Simbiosis dilakukan dengan cara mengupayakan agar garis hitam pekat pada tubuh mereka membaur membentuk garis lurus dengan salah satu duri bulu babi yang bertujuan untuk penyamaran dan perlindungan dari serangan predator. Selain bulu babi, ikan ini juga memiliki tempat perlindungan lain yaitu anemon laut dengan cara memanfaatkan tubuh mereka yang kecil agar dapat menyelinap diantara helaian anemon laut.

Menurut Allen dan Steene (1995), kardinal Banggai merupakan ikan nokturnal aktif yaitu mencari makan pada malam hari. Makanannya berupa plankton, mikro krustasea dan ikan kecil. Perilaku biologis menunjukkan ikan ini mempunyai tingkah laku khas sebelum melakukan pemijahan dimana ikan jantan dan betina dewasa yang telah matang gonad akan memisahkan diri dari kelompoknya dan mencari tempat yang cocok dan sesuai untuk kawin. Sebelum sel telur dan sperma dikeluarkan, mereka akan melakaukan gerakan-gerakan unik yang disebut ”mating dance” atau percumbuan. Percumbuan dilakukan oleh ikan jantan dengan berenang-renang di sekitar ikan betina yang bertujuan untuk menarik perhatian .

Pemijahan berlangsung secara eksternal dimana sperma dilepaskan langsung ke arah telur yang sudah dikeluarkan namun masih menggantung pada tubuh betina. Secar umum, memiliki fekunditas yang rendah dimana setiapo kali pemijahan induk betina hanya menghasilkan 15 – 40 butir telur saja.
Perbedaan individu jantan dan betina terletak pada ukuran tubuh, panjang sirip punggung kedua dan bukaan mulut. Jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, sirip punggung kedua yang lebih panjang dan bukaan mulut yang lebih besar dari individu betina. Induk jantan melakukan pengeraman telur yang telah dibuahi di dalam mulut (mouth breeder). Lamanya pengeraman 10 – 14 hari terhitung setelah terjadinya pembuahan. Telur yang dierami hanya sedikit dan berdiameter 2,8 – 3 mm. Telur yang ditetaskan berkembang menjadi larva dan anak ikan dalam mulut induk jantan. Selama berlangsung tahapan tersebut, mulut jantan selalu terbuka. Waktu yang diperlukan untuk menjadi larva dan anak ikan adalah seminggu sebelum dilepas ke lingkungan sekitar. Pertumbuhan ikan ini tergolong lamban, setelah usia 2 bulan baru mencapai ukuran 1,8 – 2,5 cm.
Hasil penelitian Rusdi (2005) menunjukkan bahwa persentase indeks kematangan gonad ikan jantan dan betina tertinggi terjadi pada bulan September , Juli dan Oktober yang berarti aktifitas reproduksi pada bulan-bulan ini cukup besar sedangkan bulan Juni, Agustus dan Nopember aktifitas reproduksinya rendah. Hal ini menjadi warning tersendiri bagi para nelayan yang menangkap ikan kardinal Banggai pada bulan-bulan tersebut agar jangan sampai terjadi overfishing.

Penyakit
Selama ini belum pernah dilaporkan adanya wabah (outbreak) yang menyerang ikan ini. Hasil pemantauan hama penyakit ikan karantina (HPIK) yang dilakukan oleh Stasiun Karantina Ikan Kelas II Luwuk Banggai pada tahun 2006 hanya menemukan parasit jenis Trichodina sp pada kerokan lendir. Praktis, faktor kualitas air dan keseimbangan ekologi yang terjaga pada habitat ikan ini turut membantu meminimalisir timbulnya penyakit yang menyerang ikan yang menjadi ciri khas Kabupaten Banggai Kepulauan ini.
* Penulis adalah angkatan ’97 BDP, staf Karantina Ikan Luwuk Banggai
Moh. Zamrud, S.Pi*